Mencari Peradaban Indonesia

Antara Barat dan Timur
Antara tahun 1935-1936, dan kemudian 1939, di Indonesia (Hindia Belanda ketika itu) terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai polemik kebudayaan. Polemik ini bermaksud untuk mencari bentuk atau wajah bagi konsep tentang Indonesia. Bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisjahbana mengenai menuju masyarakat dan budaya baru yang membagi periodisasi kebudayaan Indonesia menjadi dua kategori besar, masa pra-indonesia dan masa indonesia. Masa pra-indonesia adalah masa jahiliyah indonesia. Sedang masa Indonesia, yang bermula di awal abad ke-20, bagi Sutan Takdir haruslah bentuk atau konsep baru yang memiliki dinamika, yang berbeda total dari masa sebelumnya. Masyarakat baru Indonesia itu adalah masyarakat dinamis, yang mengadopsi model dinamika yang berkembang pada masyarakat barat. Intelektualisme, materialisme (dalam arti hasrat besar untuk membangun dunia ini), dan egoisme (dalam arti tumbuhnya spirit individual, kebebasan individu); yang merupakan karakter dinamika masyarakat barat, haruslah menjadi bagian dari masyarakat baru Indonesia. Bagi Takdir, penilaian negatif atas semangat barat dengan mengemukakan sisi-sisi semisal barat tidak spiritual, adalah tidak tepat karena pada barat nilai-nilai spiritual itu dimilikinya. Sedangkan alasan yang menolak kiblat ke barat karena krisis yang dialami oleh barat (krisis intelektual), bagi Takdir itu adalah problem barat bukan problem kita, problem kita adalah bagaimana menggapai intelektualisme itu.

Di sisi lain, bertentangan dengan pendapat Sutan Takdir, sebagian kalangan menginginkan wujud yang menghargai warisan Timur menjadi corak yang membangun Indonesia. Sanusi Pane, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara bisa disebut mewakili pandangan ini. Dalam konsep ini bukan berarti tidak ada nilai-nilai barat yang tidak kita adopsi, nilai intelektualisme misalnya. Tetapi yang diinginkan oleh pandangan yang berorientasi ke Timur ini adalah warisan budaya kita menjadi basis utama dalam membina kepribadian manusia Indonesia dan menghindari efek negatif dari kebudayaan barat. Model pendidikan, sebagai medium transmisi kebudayaan, yang berakar dalam warisan budaya kita seperti model pesantren, bisa diberdayakan untuk membina kepribadian ini. Dalam konteks ini perlu dicatat adanya pembedaan antara pendidikan dengan pengajaran. Bagi Dr. Sutomo, pendidikan terkait dengan membentuk kepribadiaan sedangkan pengajaran terkait dengan pencapaian intelektual. Dari sudut pandangan ini mustahillah membangun konsep keindonesiaan baru yang tercerabut total dari akar kesejarahannya, sebagaimana diinginkan oleh Sutan Takdir. Sedangkan bagi Sutan Takdir sendiri pendapat sintesis ini masih memiliki tendensi anti-intelektualisme, anti-materialisme dan anti-individualisme (untuk dua terminologi terakhir hendaknya dipahami dalam konteks praktisnya bukan dalam pengertian metafisis).

Antara Peradaban dan Kebudayaan
Bagian yang juga menarik untuk memecahkan problem ini dalam polemik itu adalah usaha membedakan antara peradaban (civilization) dan kebudayaan (culture). Bagi Adinegoro, peradaban adalah aspek teknis sebuah masyarakat yang dapat dipinjam (misal pengetahuan dan teknologi); sedangkan kebudayaan adalah jiwa sebuah bangsa yang berwujud dalam karakter dan tabiat yang tidak dapat ditukar. Dia mencontohkan Jepang sebagai bangsa yang mempertahankan kulturnya tetapi mencapai peradaban dalam standar barat.

Elaborasi yang cukup luas diberikan oleh Dr. M. Amir untuk membahas hal ini. Jauh sebelum kata civilization dipakai atau ditemukan, kata kerja civilize telah dipakai. Tetapi kata civilization sendiri baru pada abad ke-18 digunakan untuk membedakan derajat tinggi suatu bangsa dengan derajat lain yaitu savages(buas, liar) dan barbares(biadab). Tingkat atau derajat tinggi masyarakat itu berakar pada civilis (kota). Sedangkan istilah kultur pada awalnya berarti jumlah segala kemajuan; kemajuan bendawi ataupun kemajuan pikiran yang dicapai oleh manusia. Dari elaborasi pengertian ini pembedaan antara peradaban dan kebudayaan berasal dari pembedaan yang dilakukan dalam tradisi pemikiran Jerman. Sedangkan pada tradisi eropa lainnya (Perancis dan Inggris) dipakai terma civilization saja.

Selanjutnya Dr. M. Amir menegaskan bahwa setiap masyarakat mempunyai peradabannya sendiri (entah mencapai tingkat yang tinggi atau rendah). Peradaban itu juga ada yang berpindah atau dipinjam karena faktor percampuran, hubungan atau kemajuan.

Pembedaan tingkatan masyarakat seperti ini (dari yang primitif hingga yang berperadaban tinggi) tidak sekedar perbedaan kemajuan masyarakat saja (yang tampak dalam kemajuan materialnya) tetapi juga terkait dengan pembedaan konstitusi jiwa manusianya. Di sini terdapat dua pendapat, yang menafsirkan kemajuan peradaban karena perbedaan genetik dan yang menafsirkan kemajuan peradaban karena faktor lingkuangan. Nature vs Nurture.

Bagi Dr. Amir persoalan peradaban ini tidak semata-mata soal sosiologi tetapi juga psikologi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan barat untuk membentuk konstitusi kejiwaan manusia barat seperti sekarang ini, ribuan tahun. Secara historis tidaklah mungkin kita memutus mata rantai kesejarahan manusiawi kita untuk membangun peradaban baru.

Siapa Pemenangnya ?
Secara sekilas pemenang polemik itu adalah Sutan Takdir. Tetapi, bagi Ajip Rosidi, masalahnya tidak sesederhana itu. Banyak masalah, seperti dualisme pendidikan dan dualisme antara kebudayaan nasional dan daerah, belum terselesaikan secara memuaskan.

Dapat pula kita nyatakan bahwa pasca kemerdekaan model pembangunan yang digesa oleh pemerintah kita sebenarnya tidak jauh berbeda dengan model yang diinginkan oleh Sutan Takdir. Bolehlah kita bertanya sudahkah dinamika berperadaban sebagaimana yang diinginkan oleh Sutan Takdir telah kita capai ?

Humanisme

Kita juga bisa menambahkan posisi lain yang diambil oleh kalangan intelektual dalam polemik ini yaitu posisi Sjahrir. Tetap dalam orbit intelektual Barat modern, Sjahrir menegaskan tidak perlu pilih antara Barat dan Timur, karena keduanya harus silam dan memang sedang tenggelam ke masa silam (Barat kapitalis dan Timur feodalis). Pilihan pandangan ini kemudian menjelma menjadi pilihan humanisme.

Islam
Satu hal lagi yang juga menjadi catatan adalah tidak dimasukkannya pandangan kalangan Islam dalam polemik ini. Menurut Ajip Rosidi, hal ini bisa karena memang tidak ada tokoh Islam yang terlibat atau penyunting buku Polemik Kebudayaan tidak menganggap perlu meniliti majalah atau surat kabar yang membawa suara Islam. Ajip Rosidi menyebutkan adanya pendapat yang disampaikan oleh M. Natsir pada tahun 1934, sebelum Polemik Kebudayaan itu dimulai.

Dalam tulisannya M.Natsir mengingatkan tidak perlunya membesar-besarkan antagonisme Barat dan Timur. Bagi pendidik Islam, lanjut Natsir, Islam hanya mengenal antagonisme antara yang haq dan batil. Semua yang haq diterima, semua yang batil ditolak dari mana pun sumbernya Timur atau Barat.

Catatan Rujukan
Buku Polemik Kebudayaan, cetak ulang Balai Pustaka 1998. Catatan Ajip Rosidi mengenai Polemik Kebudayaan bisa dibaca di Sastra dan Budaya, Kedaerahan Dalam Keindonesiaann, Pustaka Jaya, 1995. Pendapat M. Natsir dapat dirujuk di Capita Selecta, Bulan Bintang 1973. Pandangan Sjahrir bisa dibaca di Renungan dan Perjuangan, Dian Rakyat 1990.

2 thoughts on “Mencari Peradaban Indonesia

  1. Assalamualaikum Wr. Wb

    Peradaban hakikatnya adalah suatu sistem yang mencakup berbagai sub sistem. Ada sistem ekonomi, politik, budaya (dalam artian estetika), sosial, kesehatan, pendidikan, spiritualitas dan hukum. Peradaban sebagai sistem harus dipandang dalam kompleksitasnya, yang ajaibnya keseluruhan kompleksitas itu adalah refleksi dari manusia dan fitrahnya. Dari seluruh makhluk ALLAH SWT, mungkin hanya manusia yang membangun peradaban, Malaikat sekalipun tak membangun peradaban, karena bentukan mereka memang bukan untuk membangun peradaban.

    Bila kita merunut kembali, kenapa manusia cenderung membuat peradaban, itu adalah karena memang cerminan fitrah manusia itu sendiri sebagai rahmat dari ALLAH SWT. Semua itu adalah pancaran suara hati (qalb) dalam diri manusia. Manusia akan cenderung membangun kesehatan karena ada dorongan hati untuk mencari kesempurnaan. Manusia membuat karya budaya yang mengusung estetika disebabkan kecenderungan mereka pada rasa keindahan. Manusia cenderung membuat sistem hukum karena dorongan hati mereka untuk menegakkan keadilan. Itulah esensi tauhid asma wa shifat Allah SWT, menyadari secara aktif adanya suara hati dalam diri yang hakikatnya memberi batasan yang jelas arah peradaban yang benar. Karena sifat peradaban sebagai sistem maka ia bukan saja merupakan sebuah produk gerakan (apapun landasan ideologis/mabadi nya) tapi ia pun cenderung menghasilkan sesuatu yang baru (Emerging properties menurut Peter Senge dalam bukunya fifth discipline). Seperti ion hidrogen dan oksigen yang bersatu membentuk molekul air H2O maka muncul sifat lain yaitu cair yang berbeda dengan sifat dasar unsur pembentuknya yaitu gas. Peradabanpun sebagai sistem menghasilkan sesuatu yang lebih, inilah yang disebut perkembangan suatu peradaban. Inilah jembatan antara suara hati yang dibimbing oleh ruhiyah dengan bentuk kemapanannya dalam bentuk banyaknya produk peradaban yang dibimbing kematangan akal.

    Dari sini kita jadi tahu bahwa pembagian peradaban dengan istilah ‘barat; dan ‘timur’ menjadi absurd. Tidak ada disparitas antara peradaban barat dan timur kecuali karena kehendak naluri/kesombongan saja. ataupun utnuk mengatakan bahwasanya peradaban Indonesia dipisah antara pra Indonesia modern maupun Indonesia modern. Tidak ada peradaban yang murni bersih dari pengaruh eksternal lain. Peradaban Indonesia adalah hasil dorongan qalbu yang ditanamkan oleh ALLAH SWT yang kematangan konseptualnya meminjam dari pengalaman barat dan timur dalam mengejawantahkan qolbunya masing-masing. Pada dasarnya peradaban barat dan timur disatukan dengan suatu proses ‘pencarian’ yang sama dalam memenuhi fitrah kemanusiaan, tapi dalam perjalanannya mengalami perbedaan akibat pengaruh2 lingkungan dan gerakan keilmuan yang berbeda (Barat dengan renaissance dan humanisme sedangkan timur dengan mistisismenya yang dominan pada era pra modern).

    Disini kita dapat melihat peluang sinergi dengan capaian sistem peradaban barat dan peradaban timur. Tapi sebelum sampai pada tingkatan capaian/kontribusi peradaban maka perlulah dilakukan evaluasi ulang dengan atas capaian yang dicapai masing-masing peradaban. Bila Barat memandang ilmu itu obyektif dan tidak netral (valueless) seperti menurut Sartre tapi menarik kita melihat pandangan Naquib Al Attas bahwasanya ilmu itu sebenarnya penuh nilai (valuefull). Ini karena ilmu adalah semata-mata refleksi suara hati yang ingin mewujud kepada realitas aktual.

    Ahh capek ah budiman, intinya begini aja deh, Barat dan Timur disatukan pada proses pencarian yang sama. Tapi terkadang capaian peradaban terdistorsi oleh naluri/nafsu dan ego/kesombongan. Ego inilah yang menghalangi proses dialog (dalam arti membuat kemaknaan baru bersama). Atas dorongan naluri dan ego maka kebenaran/ketepatan arah peradaban menjadi tertutupi (cover dalam bahasa inggris yang mempunyai akar kata pada bahasa Arab kufr). Indonesia sebagai suatu panggung peradaban itu juga mengalami distorsi akut yang sama. akibatnya sistem peradaban Indonesia mewujud dengan penuh ketimpangan (kemiskinan sistemik akibat sistem; korupsi dan lain-lain). Reorientasi arah peradaban haruslah dimulai dari kerangka spiritualitas yang tinggai. KArena ibarat mesin, ia adalah sumber dan bahan bakar sistem peradaban. Tapi jangankan masa kini pada masa nabi pun ada golongan munafik dan kufr. (dalam arti menolak fitrah). Wallahualam, nanti ane sambung lagi kalo ada kesempatan.
    Udah bud, buruan bikin buku, ane tunggu ye

    Wassalam

    • Pak Sammy F.H. mau bantu jadi editor saya ? 😀 he.. he… he… he…
      Pikiran-pikiran saya masih berkelebat ke sana ke sini. Belum mendapatkan fokus, yang bisa mengarahkan untuk membentuk satu buku.
      Jadi yang bisa ditulis, ya ditulis saja dulu. Kalau melahirkan buku ibarat melahirkan gajah; tentu prosesnya sulit dan memakan waktu serta energi yang besar. Anggap saja blog ini digunakan dulu untuk melahirkan kucing-kucing pikiran kita; walaupun mungil tetapi banyak. Barangkali nantinya dari yang mungil-mungil bisa menjadi gajah [bisakah kucing menjadi gajah ? Di dunia fantasi harusnya bisa yaa….]

      Terkait dengan response antum, sebenarnya itu menegaskan proposisi dasar bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Kebutuhan untuk membangun peradaban dimiliki oleh manusia secara umum. Tetapi bagaimana mereka mewujudkannya atau bagaimana tampilan peradabannya berbeda-beda.

Leave a reply to Abu Salsabila Cancel reply