Refleksi Terhadap Risalah Dakwah Kami Di Zaman Baru Hasan Al Banna

Krisis yang dialami negeri ini membuat kran kebebasan terbuka. Kemudian bermunculanlah diagnosis dan alternatif pemecahan bagi permasalahan yang diderita. Maka ramailah bursa pemikiran di negeri ini. Adalah sebuah kebutuhan bagi setiap orang untuk mempersepsi dakwah ini secara terang. Terangnya tujuan dan metodologi pemecahan masalah akan membuat masyarakat menjadi penuh harap, cinta dan siap untuk merealisasikan dakwah tersebut. Penerangan tidaklah cukup dengan membangun retorika, pidato-pidato maupun agitasi massa semata, tetapi penerangan yang bertolak dari basis ilmiah, argumen ilmiah. Penting bagi kita untuk memahami karakter utama dakwah ini, karakter rabbaniyah ‘alamiyah dakwah, agar kita memiliki persepsi yang jelas dan argumentatif atasnya.

Rabbaniyyah

Poros utama dakwah ini adalah bagaimana manusia mengenal Tuhannya, bagaimana membangun ikatan transendetal dengan Allah SWT. Di atas ikatan inilah tegaklah spiritualitas yang mensucikan dan memuliakan kehidupan manusia. Saat ini begitu banyak manusia yang mengingkari penciptanya entah karena ateismenya atau karena pilihan agnostiknya. Hilangnya relasi transendetal ini membuat manusia jatuh ke cara pandang materialistik dalam hidupnya. Bahwa semuanya bermula dan berporos pada materi sebagai sebab awalnya, manusia semata makhluk materi, kehidupan ini harus dibangun dari dasar dan motif material, entah ekonomi atau naluri seksual, kemudian kemajuan pun adalah kemajuan material.

Kemajuan materi tidaklah identik dengan kebahagiaan hidup manusia. Pada taraf tertentu materialisme itu berubah menjadi tirani terhadap jiwa manusia. Tirani materialisme membuat jiwa manusia terperangkap dalam kehampaan dan kegersangan nirmakna. Manusia tercerabut dari dasar, pusat jiwanya (ruh).

Dakwah ini adalah dakwah Rabbaniyah.  Substansi rabbaniyah dakwah ini pada dasarnya adalah cinta kepada Allah.

Antara Pemikiran Metafisis dan Logika Ilmiah

Jatuhnya seseorang kepada materialisme bermula dari pola pemikirannya. Pola pemikiran umat manusia selama tidak terbimbing oleh wahyu akan jatuh ke dalam dua kemungkinan ini :

  1. Pemikiran yang penuh dengan khayalan metafisis, khurafat terhadap yang ghaib yang padanya disandarkan urusan kehidupan dan menafsiri sebab-sebab kejadian dunia.
  2. Pemikiran rasional materialistis yang menolak keberadaan yang ghaib diluar jangkauan indera dan akal. Pemikiran jenis ini banyak dianut manusia modern. Banyak di antara mereka berdasarkan keyakinan dasar ini menolak eksistensi Tuhan, kenabian, hari akhir dan ruh.

Dua cara berpikir di atas adalah bentuk kesalahan dan mencerminkan kelemahan manusia. Islam menegaskan bahwa realitas terdiri dari realitas ghaib dan realitas empirik (syahadah). Wahyu/ Iman memberikan putusan yang tegas, jelas dan final mengenai pengetahuan dan problem metafisis, gaib. Akal diformat untuk memikirkan ayat-ayat Allah baik yang Qurani maupun Kauni. Iman dan Aqal berinteraksi secara harmonis.

Kebangkitan Ruh : Iman, Kemuliaan dan Harapan
Sebuah gerakan dakwah tidak semata dilihat dari sisi lahiriah dan formal. Gerakan dakwah memiliki motivasi dan inspirasi spiritual bagi usaha meraih tujuan mereka. Dinamika batin yang menggerakkan, mengontrol dan memberi kekuatan untuk mewujudkan cita-cita.

Oleh karenanya hal mendasar yang harus diperhatikan dalam kerja dakwah adalah kebangkitan spiritual ini [kebangunan ruh, hidupnya hati dan ketajaman intuisi]. Dakwah ini menekankan pembinaan ruhani di atas operasionalisasi. Dakwah ini menginginkan terbangunnya jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tangguh; hati yang segar; jiwa yang optimis.

Jalan yang dibentangkan untuk mencapai itu adalah
a. Iman dengan keagungan risalah Islam
b. Bangga dalam memeluk Islam
c. Yakin dengan dukungan dan pertolongan Allah

Kebangkitan ruh harus berpengaruh nyata dalam kehidupan. Untuk ke sana harus didahului dengan kebangkitan amal. Amal pembentukan pribadi, keluarga dan masyarakat.

‘Alamiyah

Dakwah ini adalah dakwah universal karena ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada asalnya adalah bersaudara. Semua manusia memiliki martabat yang sama. Sehingga rasialisme dan chauvinisme haruslah ditolak. Karakter ‘alamiyah [insaniah/kemanusiaan] dakwah ini memberikan kita perspektif untuk concern terhadap isu-isu kemanusiaan yang terjadi. Kemiskinan, kebodohan [kebutahurufan], kekerasan dan penindasan hak-hak asasi manusia, kelaparan dan bencana; merupakan bagian dari concern dakwah ini.

Apakah nasionalisme dalam konteks ini memiliki relevansi dengan dakwah kita ? Jawaban mengenai hal ini bisa dirujuk ke dalam risalah yang sekarang dibahas dan risalah-risalah lainnya. Pokok yang penting diperhatikan dalam hal ini adalah aspek metodologis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Metode Hasan Al Banna menegaskan terlebih dahulu makna-makna yang dimaksud dari isu-isu yang ada, apakah nasionalisme, arabisme, internasionalisme/humanisme. Menegaskan penolakan terhadap sesuatu sebelum memahami makna yang dimaksud merupakan sikap terburu-buru. Dengan pemahaman terhadap makna yang dimaksud kita dapat memahami mana substansi yang perlu ditolak, mana yang memang merupakan concern kita karena memang bagian dari kebutuhan kemanusiaan atau perjuangan dakwah kita, atau penegasan penolakan total karena makna yang memang tidak ada interpretasi lain yang memang mengharuskan untuk ditolak [karena menerima salah satu bagiannya merupakan kontradiksi terhadap bangunan keyakinan dan pemikiran kita].

Dengan metodologi di atas kita bisa memahami bagaimana seharusnya kita bisa berinteraksi dengan isu-isu kontemporer, yang juga menjadi tantangan ummat kita, sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Qaradhawi. Qaradhawi menyebutkan tantangan-tantangan utama ummat di abad 21 ini. Berikut diantaranya yang terkait dengan komitmen ‘alamiyah/ insaniyah dari dakwah kita : tantangan keterbelakangan, pembangunan, keadilan sosial, perempuan, pemerintahan diktator, iman dan akhlak, globalisasi. Selain juga beliau menegaskan adanya tantangan identitas, referensi, zionisme dan faksionalisai umat.

[Tulisan ini merupakan refleksi tematis atas risalah yang ditulis oleh Hasan Al Banna. Risalah Dakwah Kami Di Zama Baru termuat di Risalah Pergerakan Jilid 1 terbitan Era Intermedia. Pernah disampaikan pada acara Ma’had Bawariq, Ahad 26 November 2006]

Ilmu, Budaya Ilmu dan Peradaban Buku

Ilmu, pencarian ilmu, penyebaran ilmu memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam. Begitu banyak ayat dan hadist dapat dikutip untuk menerangkan hal ini. Pakar Ilmu Al Quran mengatakan pengulangan-pengulangan konsep-konsep kunci tertentu dalam Al Quran merupakan satu indikasi terhadap penekanannya atau makna penting konsep tersebut, konsep ‘ilm merupakan salah satu konsep yang banyak sekali disebutkan. Salah satu hadist yang bisa dikutipkan sebagai ilustrasi mengenai pentingnya ilmu adalah salah satu sabda Rasulullah yang menyatakan keunggulan seorang berilmu dibandingkan dengan orang yang beribadah seperti terangnya bulan purnama dan bintang-bintang. Buku-buku klasik Islam semacam kitab-kitab hadist seperti Sahih Bukhari atau Sahih Muslim atau kitab klasik Ihya Ulumuddin karangan Al Ghazali memulai kitab mereka dengan bab atau kitab mengenai ilmu. Peran penting ilmu diungkapkan secara ringkas oleh Imam Bukhari, Ilmu mendahului amal. Kata-kata bijak Al Ghazali bisa dikutip untuk mengilustrasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan, “Orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati dan semua kekuatan yang tidak dilandasi pengetahuan akan runtuh.” Seorang ulama kontemporer, Yusuf Qaradawi, ketika membahas seri pembahasannya mengenai kehidupan ruhaniah seorang muslim memulainya dengan pembahasan mengenai urgensi menegakkan kehidupan ruhaniah/ nuansa robbaniyah di atas landasan ilmiah. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa ilmu merupakan pembuka jalan bagi kehidupan spiritual yang terbimbing, ilmu merupakan petunjuk iman, penuntun amal; ilmu juga yang membimbing keyakinan dan cinta. Dalam risalahnya mengenai prioritas masa depan gerakan Islam, beliau menempatkan prioritas sisi intelektual dan pengetahuan melalui pengembangan fiqh baru sebagai prioritas awal.

Peradaban islam klasik menjadikan ilmu menjiwai semua segi peradabannya Kecintaan terhadap pengetahuan, pemeliharaan terhadap pengetahuan dan penghargaan terhadap mereka yang berpengetahuan menjiwai peradaban muslim. Konsep ilmu, pengetahuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tubuh peradaban dan mengairi segi-segi peradaban Islam. Peradaban Islam, sebagaimana terwujudkan dalam sejarah klasiknya, dapat diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan sebagaiman seorang orientalis, Franz Rosenthal, memberi judul bukunya mengenai deskripsi dan peran pengetahuan dalam peradaban Islam sebagai, ‘The Knowledge Triumphant: The concept of Knowledge in Medievel Islam’. Pada tulisan yang lain dia mengungkapkan, “Sebuah peradaban muslim tanpa pengetahuan tidaklah terbayangkan oleh generasi muslim pertengahan.” Bahkan dalam konsep pengetahuan Islam pencarian ilmu, pengetahuan memiliki nilai kewajiban bagi individu maupun kolektif, fardu ‘ain dan fardu kifayah. Konsep pengetahuan dalam islam juga berhubungan dengan konsep ibadah, dimana pencarian dan penyebaran ilmu merupakan salah satu aspek ibadah. Seorang futurulog Muslim, Ziaudin Sardar, bahkan mengatakan sebenarnya peradaban muslim klasik yang tinggi itu secara keseluruhan ruhnya adalah pengetahuan : dengan mencarinya, menguasainya, membangun institusi untuk menyebarluaskannya, menuliskannya, membacanya, menyusunnya serta menumbuhsuburkannya.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pencapain-pencapaian peradaban Islam dahulu amat sangat terkait dengan adanya budaya ilmu di dalamnya, sebagaimana diungkapkan oleh Wan Moh. Nor Wan Daud. Budaya Ilmu merupakan prasyarat bagi kejayaan, kekuatan sebuah peradaban. Dari perspektif sejarah Wan Daud mengungkapkan bahwa sebuah bangsa yang kuat tetapi tidak ditunjang oleh oleh budaya ilmu yang baik, akan mengadopsi ciri dan kekhasan bangsa yang ditaklukkannya tetapi memiliki budaya ilmu yang baik. Bangsa Jerman (yang masih biadab) terpaksa mengadopsi budaya Romawi yang ditaklukkannya, bangsa Tartar yang mengobrak-abrik peradaban Islam di Baghdad dahulu kala justru malah terislamisasikan. Selanjutnya beliau menyebutkan budaya ilmu ini bisa dicirikan dengan terwujudnya masyarakat yang melibatkan diri dalam kegiatan keilmuan, ilmu merupakan keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan masyarakat, penghormatan terhadap ilmu dan orang berilmu, pemberian kemudahan, bantuan dalam penyebaran ilmu pengetahuan, sebagaimana juga ciri yang mencela sifat jahil, bebal dan anti-ilmu. Munculnya penemuan-penemuan saintifik atau kemajuan teknologi di dunia Islam pada masa silam tidaklah terbayangkan tanpa adanya budaya ilmu yang menggerakkannya, karena pencapaian-pencapaian itu adalah manifestasi dari budaya ilmu tersebut. Syed Husein Alatas mengembangkan konsep “bebalisme” secara sosiologis terhadap kebiasaan, tradisi atau budaya anti-ilmu, anti-pembahasan, anti-penalaran dalam sebuah masyarakat.

Dalam abad modern ini dimana renaisans atau kebangkitan umat didengungkan pembinaan budaya ilmu merupakan keharusan. Sebagaiman diingatkan oleh Anwar Ibrahim bahwa proses membangkitkan umat sangat terkait dengan upaya pengembalian posisi sentral pengetahuan dan pendidikan dalam masyarakat dengan memperkuat api semangat belajar dan mendorongnya untuk tertarik pada ladzzah al ma’rifah, kenikmatan berjumpa dengan pikiran-pikiran besar, ketakjupan dalam menemukan gagasan-gagasan baru. Membangun keutamaan budaya sebuah masyarakat merupakan kerja pemberdayaan aksara (Literally empowerment) terhadap mereka. Anwar Ibrahim juga mengingatkan akan permasalahan yang masih dialami sebagian besar dari umat ini, “Kita bangga dengan Islam sebagai agama yang banyak berbicara mengenai ilmu. Kata pertama yang pertama diturunkan dalam Quran adalah iqra’. Tetapi kita melihat kini sebagian besar muslim tidak dapat membaca. Sebagian yang bisa membaca tetapi tidak memahami. Mereka yang bisa membaca dan memahami sebagian terjebak pada buta huruf budaya (culturally illiterate). Salah satu fenomena buta huruf budaya ini terlihat pada sikap filistinisme, perhatian terhadap soal-soal dan kebiasaan yang remeh.

Satu sisi yang juga bisa diberikan apresiasi dari budaya Ilmu dalam peradaban islam adalah penggunaan medium buku sebagai sarana penyebaran pengetahuan di dunia Islam. Lembaga penulisan buku –waraq–, perdagangan buku, perpustakaan – baik pribadi maupun lembaga kenegaraan– , sangat berkembang di dunia Islam ketika itu. Sebagaimana juga munculnya lingkaran studi di mesjid-mesjid, diskusi ilmiah di istana-istana penguasa, atau munculnya lembaga-lembaga pengajaran dari tingkat dasar hingga univesitas (kulliyah). Sehingga tidak berlebihan jika Sardar menyebut juga kekhasan peradaban Islam dengan peradaban buku. Penyebaran buku melalui perdagangan juga sangat berkembang,. Di zaman klasik, setiap kota besar di dunia Islam memiliki bazaar buku masing-masing, suq al waraqa. Aktivitas para pedagang buku tidak semata-mata menjualbelikan buku, tetapi toko-toko mereka juga berperan sebagai tempat-tempat diskusi. Sebuah karya indeks mengenai buku-buku di dunia Islam di masa itu, Al Fihrist, sebuah karya yang terkenal dikalangan sejarawan dikarang oleh Ibn Nadim seorang pedagang buku. Kajian mengenai penyebaran buku di dunia Islam juga bisa kita lihat dari karya seorang orientalis Denmark, J Pedersen dalam bukunya Fajar Inteletualisme Islam, Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di dunia Arab (terjemahan Indonesia dari The Arabic Book).

Catatan Rujukan
Wan Moh. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan Dalam Islam. Pustaka. Bandung.1997
Wan Moh. Nor Wan Daud, Budaya Ilmu, Satu Penjelasan. Pustaka Nasional. Singapore. 2003
Anwar Ibrahim. Renaisans Asia. Mizan. Bandung. 1998
Ziauddin Sardar. Wajah-Wajah Islam. Mizan. Bandung 1992
Ziauddin Sardar. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Mizan. Bandung,1986.
Ziauddin Sardar. Masa Depan Islam. Pustaka.Bandung 1989.
Ziauddin Sardar. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.2000
Yusuf Qaradhawi. Menghidupkan Nuansa Robbaniah dan Ilmiah. Pustaka Al Kautsar. Jakarta, 1996.
Yusuf Qaradhawi. Rasul dan Ilmu. Rosda Karya Bandung.
J. Pedersen. Fajar Intelektualisme Islam. Mizan. Bandung. 1996.
Franz Rosenthal. Etika Kesarjanaan Muslim, Dari Al Farabi hingga Ibn Khaldun. Mizan. Bandung. 1996.
Syed Hussein Alatas. Intelektual Masyarakat Berkembang. LP3ES. Jakarta. 1988.
Fukuzawa Yukichi. Jepang Di Antara Feodalisme dan Modernisme (terj. Encouragement of Learning). Panca Simpati. Jakarta. 1985.

[Sebelumnya telah dimuat di http://www.ukhuwah.or.id tanggal 27 Juni 2006]

Kunci Kepribadian : Refleksi Terhadap Seri Jenius-Jenius Islam Karya Al Aqqad

Buku itu ibarat teman dialog, bahkan Descartes (yang disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern) mengatakan membaca buku itu sama halnya dengan berdialog dengan pemikir-pemikir dari masa kini dan lampau (lihat bukunya : Risalah Tentang Metode). Salah satu kenikmatan hidup adalah nikmat pengetahuan, kenikmatan berjumpa dengan pikiran-pikiran besar yang memberi pencerahan dalam diri kita; bahkan salah satu do’a yang tercantum dalam al Quran adalah do’a agar ditambahkan pengetahuan kepada diri kita (Robbi zidni ‘ilman).

Membaca seri kejeniusan para pahlawan Islam karya Abbas Mahmud Al Aqqad ini memberi kita banyak inspirasi, wawasan yang menarik mengenai kepribadian para pahlawan itu. Tidak hanya wawasan saja, seri ini juga membekali kita dengan konsep-konsep metodologis dalam memahami biografi orang-orang besar dan kejadian-kejadian sejarah.

Abbas Mahmud Al Aqqad merupakan pemikir dan sastrawan Mesir yang besar pengaruhnya. Ia merupakan salah satu guru Sayyid Quthb dalam sastra. Seri biografi ini merupakan seri biografi tokoh-tokoh Islam. Di Indonesia sebenarnya seri ini sudah lama dikenal. Sepengetahuan saya penerbit Bulan Bintang telah menerjemahkan seri biografi ini diantaranya : Keagungan Abu Bakar Shidiq, Keagungan Umar bin Khatab, Kedermawanan Ustman bin Affan, Ketaqwaan Ali bin Abi Thalib, dan Kepahlawanan Khalid bin Walid, serta Fatimah Zahra’ Ibunda Para Syuhada’; yang terbit (kalau tidak salah) akhir tahun 70-an dan awal 80-an. Selain seri biografi ini, Bulan Bintang juga menerbitkan beberapa buku al Aqqad yang lain, seperti Tuhan di Segala Zaman dan Wanita dalam Al Quran. Penerbit Pustaka Mantiq dari Solo juga pernah menebitkan seri ini diantaranya, Keaguangan Abu Bakar, Keaguangan Umar bin Khatab, Keagungan Ali bin Abi Thalib dan Bilal Muadzin Rasul (tahun akhir 80-an dan awal-awal 90-an). Baru-baru ini Pustaka Azzam menerbitkan dengan judul Kejeniusan Abu Bakar, Kejeniusan Umar, Kejeniusan Ustman, Kejeniusan Ali dan satu buku membahas mengenai Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Sebenarnya tidak semua seri biografi ini diberi tajuk Abqriyah (kejeniusan), biografi Ustman misalnya diberi tajuk Dzunnurain Ustman, Muadzin Rasul Bilal. Bahkan ada sebuah biografi yang ditulis Al Aqqad mengenai Mahatma Gandi.

Salah satu konsep metodologis yang digunakan oleh Al Aqqad dalam menganalisis kepribadian masing-masing tokoh adalah konsep kunci kepribadian. (dalam Kedermawanan Ustman, tidak ada bab mengenai kunci kepribadian ini). Ia mengibaratkan kunci kepribadian seperti kunci rumah yang bisa membuka semua ruang yang tersembunyi dalam rumah itu. Demikian, dengan kunci kepribadian kita dapat membuka/ memahami tampilan kepribadian yang membedakannya dari tokoh lain.

Para pahlawan Islam itu berakar pada keimanan yang sama, tentu dengan keutamaan mereka masing-masing; sebagaimana disebutkan utamanya keimanan Abu Bakar dibanding para sahabat lainnya. Tapi mereka menampilkan performa, tindakan, kebijakan, karakter, perilaku, kebiasaan, obsesi, sikap dan gerakan yang berbeda. Selain juga karena faktor sifat dasar yang mereka miliki, keluarga dan budaya yang membentuk semua itu; kunci kepribadian masing-masing tokoh berperan besar dalam memahami semua itu.

Demikianlah kita mendapati kekaguman terhadap kepahlawanan sebagai kunci kepribadian Abu Bakar. Disiplin keprajuritan/ ketentaraan menjadi kunci kepribadian Umar bin Khatab, keprajuritan juga menjadi kunci kepribadian Khalid bin Walid. Walaupun memiliki dasar kunci kepribadian yang sama, antara Khalid dan Umar memberi tampilan yang berbeda; Umar dalam bentuk kewibawaan dan keadilan sedang Khalid dalam bentuk ekspansi dan dobrakan. Kepercayaan diri, harga diri prajurit berkuda menjadi kunci kepribadian Ali bin Abi Thalib.

Lapangan yang bisa kita pahami dengan menggunakan kunci kepribadian ini bisa meliputi lapangan sikap, kebijakan, performance juga pemikiran. Lihatlah perbedaan karakter Abu Bakar yang lembut dan karakter Umar yang keras, tapi perhatikan juga bagaimana situasi bisa berubah dalam kondisi yang berbeda. Perhatikan kepercayaan diri Ali di medan perang maupun di medan pemikiran. Lihatlah perbedaan antar Umar dan Khalid bin Walid, walaupun dibesarkan dalam kabilah yang sama, dengan penampilan yang hampir sama (tinggi besar, kekar, pandai berkuda) tetapi lapangan kejeniusan Umar berbeda dengan Khalid. Khalid sangat terkenal dengan kejeniusannya di peperangan-peperangan yang menentukan dalam sejarah Islam. Sedang kejeniusan Umar membentuk keadilan, administrasi dan penantaan khilafah Islam ketika itu.

Topik yang menarik yang diungkapkan Al Aqqad juga adalah mengenai kontras-kontras kepribadian antara dua tokoh; Abu Bakar dengan Umar; Umar dengan Khalid; Utsman dengan Khalifah pendahulunya. Secara fisik Abu Bakar berparas pendek, sedang Umar tinggi besar dengan kepala botak. Kontras antara Umar dengan Khalid. Hal yang juga menarik adalah kontras antara dua wujud perkembangan masyarakat di masa Abu Bakar, Umar dan masa Ustman. Ali. (Sejauh yang saya pahami dari buku mengenai Ustman dan Ali; al Aqqad cenderung mengafirmasi determinasi sosial (perubahan, evolusi masyarakat islam) ketika menjelaskan perubahan bentuk kekhilafahan kepada model kerajaan). Juga kontras antara spirit kedermawanan dan pengorbanan Husein bin Ali dan pragmatisme Yazid bin Muawiyah.

[Sebelumnya dimuat di http://www.ukhuwah.or.id tanggal 24 Maret 2006]

Konversi Gerakan Aktivis Dakwah [Thulabiyah]

Menjadi aktivis dakwah [thulabiyah] merupakan pilihan sadar yang mentransformasi kepribadian seseorang. Mereka yang terlibat dalam aktivitas dakwah thulabiyah, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi mengalami proses transformasi ini, secara mayoritas, untuk tidak mengatakan semuanya.

Tipologi kepribadian sebelum dan sesudah menjadi aktivis [thulabiyah] merupakan dua kontras yang berbeda. Kata khas yang sering muncul dari para aktivis untuk mendeskripsikan hal ini dalam terminologi para aktivis adalah masa jahiliyah versus masa hidayah. Masa hidayah ini dimaknai dengan kesibukan dalam aktivitas dakwah: berorganisasi, terlibat dalam kepanitian acara-acara keislaman, pembinaan kader, kajian keislaman, demonstrasi-demonstrasi terkait dengan permasalahan ummat.

Salah satu hasil transformasi, pada konteks ini, adalah terbukanya minat dalam alam pikiran Islam. Ketertarikan untuk mengetahui lebih lanjut pengetahuan Islam. Apresiatif terhadap wacana pemikiran Islam. Budaya membaca (buku, majalah, bulletin Islam). Identifikasi dan afiliasi terhadap pemikiran Islam tertentu. Diskusi dan dialog mengenai isu-isu keislaman : problematika umat, isu-isu fiqh, kebijakan dakwah dll. Kita dapat menyebut ini sebagai partisipasi kognitif dalam pemikiran Islam.

Partisipasi kognitif dalam dunia pemikiran ini memiliki beberapa fenomena yang harus dipahami. Hal ini terkait dengan dimensi kehidupan intelektual mayoritas aktivis yang berada dalam situasi “tanggung”. Situasi tanggung ini terkait dengan kondisi penguasaan aktivis dakwah terhadap khazanah pemikiran Islam. Ketanggungan ini adalah kondisi dimana penguasaan khazanah pemikiran Islam aktivis dakwah [thulabiyah] tidak berada dalam taraf penguasaan yang didukung oleh penguasaan ilmu-ilmu keislaman yang membentuk kerangka metodologis pemikiran seseorang, tetapi tidak juga berada dalam taraf keawaman yang tidak mengetahui dan memahami detail-detail pemikiran Islam.

Kondisi psikologis ini pada sisi lain bertemu dengan kenyataan sosiologis dunia pemikiran kontemporer. Akses terhadap dunia pemikiran begitu luas dan bebas. Buku-buku rujukan, daras, maupun wawasan pemikiran Islam tersedia bebas untuk diakses. Diskusi-diskusi pemikiran, baik secara melalui media online atau melalui diskusi-diskusi informal banyak terjadi. Munculnya pluralitas gerakan (harakah) yang dengan latar dan referensi pemikiran yang berbeda-beda.

Salah satu fenomena yang dapat dicermati adalah fenomena konversi [pindah gerakan] seorang aktivis dakwah [thulabiyah] ke gerakan lain. Konversi ini tentu saja tidak monolitik ke satu gerakan, tetapi fenomena konversi ke beberapa tipe gerakan. Pilihan gerakan bisa beragam, dari model gerakan yang lebih menganjurkan pendalaman dasar-dasar keilmuan dan aqidah sampai gerakan yang mengusung liberalisme pemikiran, dari gerakan yang menjunjung tinggi intelektualisme sampai gerakan yang anti intelektualisme, dari gerakan yang a-politis sampai dengan gerakan yang politis, atau gerakan yang memberikan nilai aktivisme lebih tinggi [baik islami maupun kiri].

Terlepas dari faktor pemicu lain, misal kekecewaan yang dialami selama bergabung dalam aktivitas dakwah; faktor psikologis (suasana ‘tanggung’ dalam pemikiran) dan faktor sosiologis (lingkungan kognitif kontemporer), hemat penulis, memberikan andil dalam menstimulasi ketegangan pemikiran yang memicu konversi gerakan seorang aktivis.

[Artikel ini sudah pernah dimuat di http://www.ukhuwah.or.id]

Bursa Ide dan Benturannya

Judul di atas memang memiliki kedekatan ide dengan tulisan Huntington pada awal era 90-an lalu, “The Clash of Civilization” (benturan antar peradaban). Tetapi isu yang akan diangkat adalah problem pemikiran dan ide. Kata “benturan” sendiri harus dimaknai dengan persaingan, perlombaan untuk membuktikan kebenaran ide dan usaha mencari manusia-manusia yang siap meyakini ide itu.

Krisis dan Kelahiran Ide
Krisis ekonomi yang terjadi hingga saat ini telah memberikan dampak perubahan terhadap tata kehidupan sosial-ekonomi-politik kita. Kesadaran terhadap krisis tersebut telah menstimulasi para intelektual untuk membongkar sebab-sebab problem yang melilit bangsa ini. Problem yang dihadapi bangsa dalam masa ini telah menyentak kesadaran banyak orang untuk mempertanyakan kembali “kebenaran” atau kelayakan gagasan terdahulu untuk menyelesaikan problem, maupu memberi arah yang tepat bagi kehidupan bangsa ini. Maka muncullah diagnosa-diagnosa dan alternatif pemecahan terhadap problem bangsa ini.

Maka, pertanyaan, diagnosa, dan alternatif gagasan baru banyak yang “lahir”. Kehidupan intelektual kini menemukan momentumnya. Dan problem yang ada pada tubuh bangsa masih begitu kompleks untuk terpecahkan. Sulit menyatakan problem itu dapat terjamah keseluruhannya oleh pikiran satu orang.

Dapat disimpulkan secara sederhana, kesadaran terhadap krisis yang ada saat ini — dengan rentang problem yang begitu luas — telah memberi ruang yang begitu besar untuk lahirnya gagasan-gagasan baru. Rentang problem yang luas dan begitu beragam juga menstimulasi pertanyaan-pertanyaan mengenai akar semua problem itu. Dan pada tahap ini gagasan-gagasan yang tumbuh tidak lagi bersifat praktis semata tetapi juga filosofis-ideologis.

Namun, tentu saja, lahirnya gagasan-gagasan tidak selalu distimulasi oleh kesadaran terhadap krisis dalam skala bangsa. Yang jelas ada catatan khusus, terbentuknya ruang yang besar ini secara tidak langsung juga menstimulasi “penzhahiran” ide-ide yang sebelumnya bergerak di bawah tanah. Dan, perguruan tinggi, sebagai institusi ilmiah, merupakan tempat yang subur bagi berkembangnya gagasan-gagasan tersebut. Gagasan yang saling bergerak membentuk sebuah dunia khusus, memiliki kekhasan dalam dinamika mereka. Namun, sebuah pemikiran yang tidak menyentuh akar kemasyarakatannya akan mengalami keterasingan, dan tidak akan menggerakkan manusia.

Logika Aktualitas
Keragaman gagasan –praktis atau filosofis-ideologis — merupakan kenyataan tanggapan terhadap problem bangsa ini. Dalam pluralitas ini, kaidah yang mengatur hidupnya sebuah gagasan dalam sebuah masyarakat adalah seperti yang dinyatakan oleh Malik Bin Nabi : logika aktualitas. Yaitu gagasan mana yang dapat memberikan diagnosa yang memuaskan secara intelektual, yang memberikan keyakinan untuk menyelesaikan problem, yang memberi ruang kemungkinan untuk ‘terjadi’, yang memberikan rasa keberdayaan untuk mengimplementasikannya. Seperti itulah gagasan yang akan menemukan latar untuk hidup dalam pemikiran masyarakat.

Dengan logika seperti ini pula kita dapat memahami pertumbuhan sebuah pergerakan. Pergerakan hanya akan dibangun oleh mereka yang telah memiliki kepuasan intelektual maupun moral terhadap gagasan-gagasan yang menjadi keyakinannya. Sebuah gagasan akan menjelma menjadi sebuah gerakan untuk membenahi problem yang ada, dengan keyakinan metodologis yang dimiliki oleh gagasan tersebut.

Kenyataan lain akan mengatakan adanya proses menebarkan gagasan itu ke semua orang. Karena gagasan yang hanya ‘mengumpul’ dalam diri seorang semat tidak memiliki efektifitas untuk ‘menjadi’. Pada proses mencari pendukung ini proses ‘meyakinkan’ terjadi. Pada titik ini pula persaingan antargagasan merupakan fenomena yang menggejala.

Tantangan Da’wah
Da’wah Islam kita dihadapkan oleh kenyataan seperti di atas, terlebih dalam kultur intelektual seperti perguruan tinggi. Fikroh Islam bukanlah pengecualian dari kaidah aktualitas. Ketika fikroh ini tidak lagi memiliki kedekatan dengan problem masyarakat, dan formulasi yang kita berikan tidak memuaskan, maka masyarakat pun akan menjauh dari fikroh Islam. Barangkali fenomena enggannya masyarakat, termasuk mahasiswa memenuhi undangan ke majelis-majelis da’wah perlu dicermati.

Namun yang dibutuhkan bukanlah penafsiran-penafsiran baru terhadap Islam, tetapi penyegaran kembali fikroh Islam yang orisinal. Karena inti dari pembaharuan Islam adalah kembali kepada asholah (orisinalitas), bukan menghidupkan Islam dalam sorotan ide-ide lain. Merupakan kecerobahan untuk memberi tafsiran Marxis terhadap Islam. Dan adalah reduksionis jika kita mengeliminasi beberap ajaran Islam agar Islam diterima dalam wajah yang lebih ‘kasih’. Hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana kita memformulasikan fikroh ini dalam tataran praktis maupun konsepsi yang tegar. Kebutuhan kita adalah bagaimana formulasi fikroh dalam tataran sikap dan kebijakan –dalam lini manapun selama terkait dengan objek da’wah — memenuhi kaidah ‘terpahami’ oleh masyarakat. Jelas, hal ini memerlukan perjuangan intelektual. Mengisi lini-lini da’wah intelektual, dalam suasana pertarungan ide seperti ini, merupakan kebutuhan mendesak.

Signifikansi ini juga akan sangat terasa dalam usaha mempersiapkan kader-kader da’wah dan menjaga kader da’wah yang ada. Stimagtisasi buruk terhadap da’wah sebagai tidak dialogis, doktriner, barangkali memiliki sebab pada sikap enggan menghadapi benturan ini. Sehingga kompensasi yang dilakukan adalah pada kegiatan-kegiatan yang memberikan rasa aman, dengan suasana homogenitas fikroh. Runutan lebih jauh mungkin membawa pada fenomena struktur kognisi kita terhadap fikroh Islam yang ‘tanggung’. Dalam makna menggantung antara tahu yang terpuaskan secara intelektual dan ketidaktahuan orang awam. Hal ini merupakan problem pendidikan. Suasana ‘tanggung’ ini juga menjelaskan fenomena berjatuhannya aktivitas da’wah karena godaan-godaan pemikiran yang tidak seirama dengan fikroh Islam.

Dalam tinjauan sejarah dapat kita fahami bahwa ketika pertama kali da’wah digulirkan Rasulullah, masyarakat memahami secara jelas tentang Islam. Sehingga mereka menolak bukan karena ketidakfahaman tetapi karena keengganan. Dan, mereka yang menerima, memerima dengan kepuasan dan keistiqamahan.

[Dimuat dalam Tarbawi edisi 14 Th. 2 30 November 2000 M/ 29 Sya’ba 1421 H]

Zuhud atau Asketisme : Ekonomi, Intelektual dan Politik

Hidup zuhud atau asketik tidak mesti disamakan dengan penyangkalan terhadap kenikmatan hidup duniawi. Walaupun kadangkala kita seringkali mendengar kehidupan kebiaraan atau kepertapaan sebagai prototipe yang ditampilkan untuk menggambarkan kehidupan orang-orang yang zuhud. Substansi dari zuhud bukanlah menyangkal kenikmatan duniawi, tetapi lebih memilih atau mengalihkan dirinya kepada satu aktivitas yang diyakini memiliki nilai keutamaan lebih.

Berdasarkan pengertian di atas kita bisa mendapatkan banyak sekali model aktivitas yang berakar atau dimotivasi atau merupakan efek tidak disengaja dari aktivitas kezuhudan. Zuhud yang diorientasikan kepada kehidupan akhirat atau spiritual. Ini merupakan tipe zuhud yang sering kita pahami. Arah zuhud ini adalah bagaimana membersihkan jiwa dari penyakit hati, kemudian menghiasi jiwa dengan kebaikan-kebaikan. Aspek utama yang ditekankan pada zuhud ini adalah kesalehan spiritual.

Kadangkala orang zuhud tetapi tidak untuk menyangkal dunia tetapi berorientasi untuk menguasai dunia. Kajian Weber mengenai keterkaitan antara etika protestan dengan spirit kapitalisme menggambarkan hubungan asketisme yang berkembang dengan pertumbuhan ekonomi. Arah asketisme ini adalah kerja keras dan hemat. Tentu saja tidak mesti akibat [pertumbuhan ekonomi kapital] terprediksikan terlebih dahulu ketika pemikiran mengenai zuhud atau asketisme itu berkembang pada awalnya.

Asketisme atau zuhud juga bisa diarahkan ke arah kerja intelektual. Sebut saja ini sebagai zuhud atau asketisme intelektual, sebagaimana sejarawan Sartono Kartodirdjo mengatakannya. Model zuhud ini mengarahkan aktivitasnya ke arah pencapaian intelektual. Para ilmuwan adalah prototipenya. Karena pencapaian karya intelektual tidak akan berhasil kecuali mampu mengarahkan aktivitasnya ke arah dunia pemikiran dan tidak terikat mati dengan kenikmatan duniawi. Para ulama hadist memberikan gambaran model zuhud intelektual ini. Malam-malam yang dihabiskan untuk meneliti hadist dan mengajarkannya, perjalanan jauh yang dilakukan untuk mencari dan memverifikasi hadist. Demikian pula prototipe-prototipe aktivitas yang dilakukan oleh para ulama atau fuqaha dalam belajar, menulis dan mengajarkan ilmu. Hasil asketisme intelektual ini adalah karya-karya [kitab-kitab] babon dalam bidang ilmu masing-masing. Kontrasnya adalah kehidupan sehari-hari para ilmuwan ini sangat sederhana dan jauh dari kemewahan.

Di ranah politik, zuhud bisa juga kita dapati. Zuhud model ini terkait dengan pilihan untuk menyalurkan hidup mereka untuk kesejahteraan orang banyak, rakyat negeri mereka. Prototipe zuhud ini adalah para negarawan. Lihatlah Mohammad Natsir, H. Agus Salim; yang tampak sangat melarat ketika mereka menduduki jabatan-jabatan kenegaraan. Dalam ungkapan Mr. Kasman Singodimedjo, “Leiden is lijen”, Memimpin itu menderita.

[Artikel ini sudah dimuat di http://www.ukhuwah.or.id]

Antara Pencari Ilmu dan Aktivis [Kritik Al Ghazali dan Ibnul Jauzi]

Membandingkan dua risalah, Ayyuhal Walad [Kepada Anakku Dekati Tuhanmu (terbitan GIP)] karya Al Ghazali dan Laftatul Kabad fi Nasihatil Walad [Pesan Untuk si Buah Hati (terbitan AkBar)] karangan Ibnul Jauzi, ada hal-hal yang menarik. Dua-duanya adalah risalah ringkas.

Dari judul risalahnya ada kesamaan tujuan, memberikan nasihat kepada sang Anak. Dalam konteks Al Ghazali anak yang dimaksud adalah anak didiknya; sedang dalam konteks Ibnul Jauzi anak yang dimaksud adalah anak kandungnya. Murid Al Ghazali meminta sang guru untuk memberikan nasihat ringkas untuknya; sedangkan Ibnul Jauzi menulis risalah untuk anaknya yang malas dalam mencari ilmu.

Pokok pikiran utamanya, Al Ghazali memulai dengan mengingatkan pentingnya pengamalan ilmu. Bahwa ilmu tanpa amal tidaklah menghasilkan kebahagiaan. Ilmu wajib diamalkan. Beramal adalah kewajiban.

Ibnul Jauzi menegaskan keutamaan mencari ilmu. Dalam rangka memberikan semangat kepada sang Anak, Ibnul Jauzi menceritakan sejarah pribadinya dalam semangat mencari ilmu. Amal tanpa ilmu adalah kesia-sia-an.

Gagasan yang menarik selanjutnya adalah untuk Al Ghazali menenkankan aktivitas bangun di waktu malam untuk beribadah, menahan lapar, tidak mementingkan dunia, menjauhi penguasa, tidak berlebihan berbicara dan yang semisalnya [dapat kita sebut sebagai aktivitas zuhud] untuk mencapai pribadi ideal yang dicitakannya. Penekanan aktivitas zuhud diarahkan untuk mencapai kondisi spiritual yang mencerahkan. Dalam terminologi lain kita bisa menyebutnya sebagai asketisme[zuhud] spiritual.

Aktivitas zuhud juga ditekankan oleh Ibnul Jauzi. Cuma penekanannya adalah mengarahkannya untuk mencapai kondisi intelektual yang mencerahkan. Mengkontraskan dengan terminologi sebelumnya kita bisa menyebut ini sebagai asketisme[zuhud] intelektual. {Istilah ini juga dipopulerkan oleh sejarwan Indonesia, Sartono Kartodirdjo yang mengambil inspirasi dari sastra jawa [mesu budi]}.

Tentu saja kontras di atas tidak berarti satu sisi lebih dipentingkan dibanding yang lain. Tidak berarti Ibnul Jauzi lebih mementingkan ilmu sedang Al Ghazali lebih mementingkan ‘amal. Dalam masing-masing risalah dua sisi ini dibahas sesuai konteksnya masing-masing.

Tipologi karakter “anak” pada dua risalah ini bisa kita manfaatkan juga untuk pemahaman sosial mengenai tipologi penggiat dakwah atau juga tipologi gerakan dakwah.??

[Artikel ini sudah dimuat di www.ukhuwah.or.id]